Bicara pada Tuhan
Agaknya hari ini semesta alam berkongsi dengan waktu untuk memperindah pertemuanku dengan dia. Rintik hujan menyiratkan senyumnya. Seiya sekata dengan degupan jantungku yang juga sedang berbahagia. Kapas putih tebal tergantung di langit. Lembut sepertinya. Ah, apalah ini? Perasaanku sepertinya sedang bermusim semi menyambut pertemuan pertama setelah 3 tahun hanya berkomunikasi melalui dunia maya. Itupun amat sangat jarang sekali. Kutekankan sekali lagi, amat sangat jarang sekali.
Nah, sosoknya muncul juga. Entah ini yang dinamakan ilusi optik atau apalah namanya. Seakan gerimis dan kabut membuka jalan agar pesonanya merangkak, berjalan kemudian berlari memeluk hatiku. Pesonanya tetap sama seperti terakhir kali kita bertemu. Wajah putih bersih bersinarnya dengan senyum manis terpancar dari bibir mungilnya. Tetapi, terlihat ada yang berbeda. Alam dan waktu atas perintah Tuhan telah merubahnya.
“Hai,” pita suaranya bergetar. Bergetar pula tubuhku. Seakan otakku terkunci. Berfikir harus menjawab apa pun aku tak mampu.
“Dimas?” panggilnya sekali lagi sambil menjetikkan jarinya.
“Oh. Hehe. Maaf, ya? Tadi habis berkelana,” jawabku sambil tersenyum malu.
“Dari dulu suka gitu, ya? Berkelana alias ngelamun,” begitu tebaknya. Padahal dia tidak tahu bahwa bekelana adalah istilah lain untuk “terdiam mengagumimu”.
Coffee Latte yang kuminum tinggal separuh. Air hujan diluar mengawasi kami berdua. Terkadang ikut tediam seperti aku dan dia yang sedang berjalan ke masa lampau. Terkadang tergelak bersama mengikuti kami yang mengolok kebodohan satu sama lain. Terkadang hujan juga menunjukkan rasa malunya saat mata kami berserobok pandang. Tetapi, hujan tidak tahu satu hal tentang kami. Bahwa kami akan bertemu lagi, lagi dan mungkin akan lebih sering lagi.
Tahun ini adalah tahun terakhir di SMA. Warna putih abu-abuku sudah mulai memudar. Tetapi tidak dengan semangat kami seangkatan yang semakin bekobar. Menunjukkan dengan lebih ekstrim lagi kamampuan masing-masing dalam pelajaran. Berebut nilai dan posisi rangking, mengikuti bimbel, belajar ekstra keras dan hal lain yang diperlukan untuk mempermudah jalan selanjutnya. Meskipun begitu, aku sangat menikmati euforia ini. Sangat menikmati. Kupikir ini adalah puncak dari segala yang disebut masa putih abu-abu.
“Dimas!” panggil seseorang kepadaku. “Kamu bohong! Katanya mau balikin catetan kimia kemaren malem. Aku udah nungguin kamu!” cercanya meluapkan amarah saat baru saja memasuki kelas. Wajahnya saat marah, menurutku lucu. Mungkin karena dia tidak biasa marah.
“Ah, iya. Maaf aku lupa. Bukan lupa sebenernya. Gak sempat gara-gara kemaren malem aku ada acara gereja.”
“Oh, gitu,” wajah cantiknya berubah kalem. “Lain kali kalo emang sibuk, balikin hari sebelumnya, ya?”
“Oke, Sas. Makasih ya.”
Malamnya, aku bercerita kepada Tuhan. Aku berkata padaNya bahwa sepertinya aku jatuh cinta. Mungkin tanpa bercerita pun Tuhan sudah bisa membaca perasaanku, tetapi dia, orang yang ingin kucintai berada di jalan yang jauh berbeda denganku. Bagaimana, Tuhan?
Kali ini hujan tidak menemaniku seperti pertemuan kami sebelumnya. Ada mentari dan awan tipis saja di langit. Musim kemarau telah datang untuk menggantikan posisi musim hujan. Di tempat yang telah kami rencanakan, aku menunggunya. Biasanya sore hari saat jam kerja kami sudah usai. Pembicaraan kami pun beragam. Mulai dari masalah kantor sampai acara kartun. Mulai dari persoalan negara sampai sariawan Saski yang sering muncul.
Saat menunggunya, aku bercerita pada Tuhan. Tuhan, apa dia tahu apa yang aku rasakan? Entahlah. Nanti saat aku tidur, mungkin Tuhan akan memberikan jawaban. Semoga saja.
“Selamat sore, Tante”
“Oh, Dimas. Ayo masuk. Sebentar, ya. Saski lagi sholat”, sapa tante Mutia, ibu Saski.
Saski adalah seorang muslim yang taat. Dari cara dia bercerita tentang agamanya, sepertinya dia sangat mencintai Tuhannya. Dia menganggap Tuhan itu sangat keren dan hebat. Sering dia menceritakan salah satu isi surat di kitab sucinya. Aku tak begitu paham. Tapi aku mengiyakaan saja semua ceramah Saski untuk menghargai penjelasannya. Kupikir akan jadi menarik jika aku membacanya lebih lanjut denagn usahaku sendiri.
“Sas, boleh aku pinjem Al-qur’an?” wajah Saski berubah menjadi lucu. Antara kaget, tercengang, dan mungkin takjub.
“Apa?? Hah?? Serius kamu, Dim? Bentar, aku ambilin dulu,” segera ia berlari ke dalam rumah dengan tergesa.
“Tapi, Dim, kalo pegang Al-qur’an itu harus wudhu dulu.”
“Apa itu?” Dan Saski-lah yang mengajariku tentang wudhu. Lebih lanjut lagi dia mengajariku banyak hal tentang agamanya.
Pertemuan kali ini Saski bercerita bahwa ia akan melanjutkan studinya di luar negeri. Padahal sudah tiga tahun kami tak bertemu dan kebetulan akhir-akhir ini kami sering bertemu. Kau tahu bagaimana perasaanku? Antara senang dan sedih, antara rela dan tidak. Apa yang akan kau rasakan jika ditinggalkan orang yang kau sayangi? Jika kau merasakannya, itulah yang aku rasakan. Aku menyayangi Saski. Dan tidak pernah mampu mengatakannya. Dan tidak pernah tahu apakah dalam hatinya ada rasa yang sama seperti aku?
“Kan masih bisa kontak lewat e-mail,” hiburnya menangkap kegelisahan wajahku.
Aku cemburu. Sangat cemburu pada Australia, tempat Saski melanjutkan kuliahnya. Malam ini langit malam tampak sepi sekali. Tak nampang bintang. Hanya ada bulan, satu, sendirian saja. Sepertiku. Memikirkan kepergian Saski tampaknya akan membuatku gila perlahan. Berlebihan kah? Entahlah.
Tuhan, tempatku beradu. Kucurahkan segala isi hati. Kegundahan, kecemburuan, perasaan sendiri dan sedikit marah kepadaNya atas jalan yang diberikan untukku. Saski pernah berkata padaku. “Tuhan menyayangi kita dengan cara yang berbeda” Mungkin inilah maksudnya. Tuhan membuatku begini karena Ia menyayangiku. Semoga.
Sepertinya kondisi tubuhku sedang buruk. Terforsir belajar, bimbel dan tugas-tugas serta tekanan emosional bahwa UN akan datang sebentar lagi. Dibutuhkan tenaga yang tidak sedikit untuk mempersiapkan itu semua. Mama masuk ke kamar untuk melihat kondisiku, tetapi aku pura-pura tidur saja. Perasaanku sedang tidak ingin diganggu. Handphone pun dalam keadaan non-aktif.
Mama tidak segera keluar. Dia berdiam di depan meja belajar. Dalam mata terpejam, aku berfikir apa yang dilihat Mama sampai terdiam seperti itu. Ah, aku tahu. Sebelum tidur, aku sempat membaca terjemahan Al-qur’an yang kupinjam dari Saski, dan aku lupa untuk menyimpannya di lemari. Mama keluar dengan keadaan terisak.
Tuhan, sungguh perih hatiku mendenar isakan Mama di luar kamarku, tepat di depan pintu. Mungkin Mama kecewa kepadaku. Mungkin mama takut aku akan meninggalkan agama yang sudah kupercayai selama ini. Keluargaku adalah penganut Kristen yang taat. Apalagi Papa sebagai seorang ketua yayasan Kristen yang cukup terkenal.
“Dimas, nanti Papa mau bicara,” kata Papa sebelum aku berangkat sekolah.
“Iya, Pa,” aku tahu apa yang akan dibicarakan Papa nanti.
Kini aku sudah jauh berbeda sejak 3 tahun yang lalu. Jiwa, penampilan, dan cara hidup. Tidak dengan perasaanku pada Saski. Yah, aku merindukannya. Sungguh. satu tahun sudah aku tak melihat wajah cantik Saski. Beberapa bulan yang lalu dia sempat pulang ke Indonesia. Mungkin Tuhan tak memberikan jalan sesuai dengan apa yang aku mau. Tepat 2 hari sebelum Saski datang, aku harus ke Cina untuk studi banding, dan tepat 2 hari sebelum aku kembali ke Indonesia, Saksi sudah kembali ke pangkuan Australia.
Hampir saja aku mau memaki-maki Tuhan atas semua rencana ini. Tetapi, aku tidak mau menjadi orang seperti itu. Aku selalu percaya bahwa Tuhan akan menyiapkan jalan yang lebih indah jika hambaNya mau bersabar. Aku pun berharap akan berjalan di jalan yang indah itu, tetapi kapan?